Jakarta - Kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang berfungsi menyaring dan menghancurkan berbagai organisme penyebab penyakit. Kanker kelenjar getah bening atau yang biasa disebut dengan kanker limfoma terjadi pada jaringan limfoid. Kanker limfoma hanya menyerang sel darah putih, dan kanker tersebut berkumpul di dalam kelenjar getah bening yang jumlahnya lebih dari 600 dalam tubuh.
Kanker ini tergolong jenis kanker yang sering ditemukan di Indonesia. Di dunia, Globocan pada 2012 mencatat setiap 90 detik terdapat satu orang di dunia terdiagnosa kanker limfoma. Jadi, ada sekitar 400.000 orang setiap tahunnya yang terdiagnosa kanker limfoma.
Limfoma awalnya menyerang limfosit (sejenis sel darah putih) yang berada di kelenjar getah bening. Limfoma tipe non-Hodgkin merupakan jenis yang lebih sering ditemukan. Saat limfoma menyerang, terjadi perubahan pada limfosit sehingga sel berkembang biak lebih cepat.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi dan onkologi medik Andhika Rachman, gejala limfoma tipe non-Hodgkin diawali dengan adanya pembengkakan pada bagian tubuh tertentu seperti leher, ketiak, atau pangkal paha. Biasanya, benjolan tersebut tidak terasa sakit. Namun, yang perlu diingat adalah tidak semua benjolan merupakan kanker. “Jadi kalau ada satu benjolan, yang dipikirkan kemungkinan pertama adalah infeksi,” katanya. Cara yang paling mudah untuk mengetahui ada tidaknya benjolan adalah dengan meraba ketika mandi karena pada saat itu tubuh sedang dalam keadaan licin. Jika ditemukan benjolan lebih dari satu dan tidak juga mengecil setelah diobati, maka harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan kanker kelenjar getah bening non-Hodgkin. Untuk memastikannya perlu pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter antara lain dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, rontgen dada, maupun mengambil sampel jaringan kelenjar getah bening untuk diperiksa atau biopsi. Selain adanya pembengkakan, kanker kelenjar betah bening non-Hodgkin dapat membuat penderitanya mengalami penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, demam tanpa sebab yang jelas, keluar keringat saat malam hari, batuk, sulit bernapas, nyeri dada, lemah, merasa kelelahan, hingga mengalami nyeri, atau rasa penuh di perut. Selain itu, menurunnya sistem kekebalan tubuh dapat menjadi faktor risiko kanker kelenjar getah bening non-Hodgkin. Faktor risiko lainnya yaitu infeksi virus seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus Epstein-Barr, dan virus hepatitis C. Pria yang saat ini bertugas di Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini mengatakan usia juga merupakan faktor risiko kanker limfoma, yaitu kebanyakan terjadi di atas usia 60 tahun. Namun, tak menutup kemungkinan ada pada usia anak-anak dan orang dewasa. Untuk pengobatan penyakit kanker ini bisa dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya melalui kemoterapi, baik dengan terapi obat secara oral atau suntikan yang bertujuan memusnahkan sel-sel kanker. Sementara itu, pengobatan dengan terapi target juga bisa dilakukan untuk mendorong sistem kekebalan tubuh melawan sel kanker. Selanjutnya, melalui terapi radiasi dengan mesin berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker, serta transplantasi sel punca yang dilakukan dengan prosedur kemoterapi atau radiasi dosis tinggi. Agar masyarakat lebih paham mengenai limfoma, ditetapkan juga Hari Peduli Limfoma Sedunia yang diperingati setiap 15 September. Tujuan lainnya untuk menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat kanker ini. Di sisi lain, PT Roche Indonesia sebagai perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan juga memperlihatkan kepeduliannya terhadap penyakit ini, salah satunya dengan memberikan edukasi tetang limfoma melalui internet. Group Communications Manager Roche Indonesia Revi Renita mengatakan pihaknya berharap masyarakat akan lebih paham gejala dan faktor resiko limfoma. “Serta berkonsultasi ke dokter secara teratur untuk menghindari deteksi limfoma yang terlambat,” katanya. |