Jakarta - Tumbuh dalam kemiskinan berpengaruh buruk pada perkembangan otak anak, demikian studi baru yang dilaporkan peneliti Amerika Serikat (AS). Anak-anak yang dibesarkan dalam kemiskinan secara umum menunjukkan kinerja yang buruk di sekolah, dengan skor tes standar dan pendidikan yang jelas lebih rendah.
“Semakin lama anak-anak hidup dalam kemiskinan, semakin besar pengurangan dalam nilai akademisnya. Pola ini berlangsung hingga dewasa, berkontribusi pada pencapaian kerja yang minim sepanjang hidup,” ujar para peneliti dalam tulisan yang dipublikasikan secara online dalam Journal of American Medical Association (JAMA) Pediatrics, Senin (20/7).
Penelitian yang sama juga mengungkapkan, pengasuhan yang baik dari orang tua dapat memberikan manfaat seumur hidup bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah ini.
Laporan dalam Journal of American Medical Association ini mengungkapkan, 22 persen anak-anak di AS hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini dapat membawa konsekuensi negatif jangka panjang pada perkembangan otak, kesehatan emosi, dan pencapaian akademis.
Dalam laporan tersebut, psikiater anak Joan L Luby, MD, dari Washington University School of Medicine di St Louis, AS, menuliskan, “intervensi-intervensi sejak dini yang mendukung lingkungan pengasuhan untuk anak-anak tersebut sudah harus menjadi topik utama dalam prioritas kesehatan umum untuk kebaikan bersama.”
Dalam penelitian terhadap anak-anak di lingkungan kumuh, Luby dan koleganya telah mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam arsitektur otak yang mengarah pada masalah-masalah sepanjang hidup dengan depresi, kesulitan belajar, dan keterbatasan dalam kemampuan untuk mengatasi stres.
Pola Asuh Studi ini menunjukkan pula, pengasuhan dari orang tua dapat menghentikan efek-efek negatif pada anatomi otak yang terlihat pada anak-anak miskin. Selain itu, peneliti mendapati, mengajarkan kemampuan pengasuhan kepada para orang tua—terutama pada mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan—dapat memberi manfaat seumur hidup bagi anak-anak.
“Riset kami menunjukkan, efek-efek kemiskinan pada perkembangan otak, terutama pada hippocampus, sangat dipengaruhi pola asuh dan tekanan-tekanan yang dihadapi anak selama hidup,” tutur Luby yang juga Direktur Early Emotional Development Program di Washington University.
Studi yang digelar sebuah tim peneliti dari University of Wisconsin-Madison juga di AS ini menemukan, anak-anak dari keluarga berpengahasilan rendah memiliki perkembangan otak yang tidak teratur. Skor dalam tes standar mereka lebih rendah. Sekitar 20 persen dari celah prestasi tersebut dapat dijelaskan karena perkembangan yang lamban di frontal lobe (bagian terdepan dari otak besar yang berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, mengontrol gerak, kognitif, menyelesaikan masalah, kontrol emosi, berbahasa, juga kreativitas) dan temporal lobe yang menjadi pusat daya ingat.
“Dalam perkembangan sains dan kedokteran, bukan sesuatu yang jarang bahwa penyebab dan solusi dari sebuah masalah kesehatan umum menjadi begitu terang untuk dijelaskan,” Luby menulis dalam editorial itu. “Ini hal yang kurang umum bahwa solusi yang layak dan biaya yang efektif untuk masalah tersebut telah ditemukan dan dijangkau,” katanya.
Penelitian baru memperkokoh pengetahuan tentang efek merusak dari kemiskinan pada perkembangan otak anak seperti juga manfaat dari pengasuhan yang baik pada anak-anak sejak dini. “Kita punya roadmap (peta jalan) langka yang melestarikan dan mendukung warisan masyarakat kita yang paling penting, perkembangan otak,” tutur Luby. “Ini merupakan susunan bukti-bukti tak tergoyahkan secara keseluruhan yang sekarang dapat ditindaklanjuti dengan kebijakan publik,” ujarnya.
Sumber: Sinar Harapan
|